KOLOM JUM’AT CXIII
Jum’at, 20 Desember 2024
Media sosial dewasa ini masih dipenuhi dengan kasus-kasus kekerasan yang objek utamanya adalah perempuan. Pelecehan seksual, pembunuhan, kekerasan dalam rumah tangga, dan kasus-kasus lain yang menyebabkan penderitaan secara fisik, psikologi atau seksual perempuan. Hal ini menunjukan bahwa tradisi kaum jahiliah masih mengakar di masyarakat luas, tradisi yang menempatkan perempuan pada derajat paling rendah sehingga seringkali mendapat ketidakadilan.
Perempuan juga masih sering mengalami pengalaman sosial yang mendiskreditkan, hanya karena menjadi seorang perempuan. Misalnya, praktek subordinasi, stigtamtisasi, marginalisasi, kekerasan, dan beban ganda. Segigih apapun perempuan memperjuangkan dan menyuarakan hak-hak mereka, masih saja ketidakadilan selalu membayangi kehidupan mereka. Sebenarnya apa yang menjadi penyebab hal ini terjadi? Apa karena perempuan dinilai sebagai makhluk yang lemah dan tidak bisa membela diri dari ketidakadilan yang mereka terima?
Pelaku Utama adalah Laki-Laki
Biasanya, pelaku utama dari ketidakadilan yang diterima perempuan adalah laki-laki, seperti, pasangan, keluarga, teman, atau rekan kerja. Dikutip dari jurnal perempuan, didapati fakta bahwa 99% pelaku kekerasan terhadap perempuan adalah laki-laki.
Di dalam ranah publik maupun domestik, relasi antara perempuan dan laki-laki sering dilakukan dengan merendahkan salah satu pihak, terutama perempuan. Laki-laki yang dikenal mempunyai sisi maskulin acap kali mempunyai sifat yang keras dan mendominasi perempuan yang dianggap lembut. Mungkin inilah yang menyebabkan laki-laki yang mempunyai kekuatan menjadi pelaku utama kekerasan dan perempuan yang cenderung lemah lembut menjadi objek kekerasan.
Istilah maskulin dan feminin sendiri berasal dari tradisi barat yang seringkali dihubungkan dengan ciri-ciri, sifat, dan karakter dari gender tertentu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maskulin bemakna bersifat jantan, ditujukan pada sifat tegas, kuat, disiplin dan mendominasi. Sedangkan feminine adalah bersifat perempuan, ditujukan pada sifat lemah lembut, pemalu, dan penyayang.
Baik laki-laki maupun perempuan sebenarnya memiliki kedua sifat ini dengan porsi yang berbeda-beda. Laki-laki tidak harus bersifat maskulin, tetapi pada waktu tertentu juga diperlukan bersifat feminin. Perempuan pun tidak harus memiliki sifat feminin, tetapi di waktu tertentu juga perlu bersifat maskulin.
Dalam relasi sosial, laki-laki harus mempunyai sisi feminin, penyayang, ketika berhubungan dengan keluarga, terutama seorang perempuan. Begitupun dengan perempuan yang ketika mendapatkan tindak kekerasan dan ketidakadilan harus mempunyai sisi maskulin, tegas dan kuat untuk melindungi diri dan menuntut keadilan. Dengan ini tidak ada lagi laki-laki yang merasa superior dan semena-mena, apalagi berbuat kasar terhadap perempuan. Dia akan bersikap baik dan penyayang. Sebagaimana perempuan yang bersikap demikian terhadap laki-laki.
Pentingnya Pendidikan Kesetaraan Gender bagi Laki-Laki
Menurut Nur Iman Subono, laki-laki umumnya terbagi menjadi tiga golongan dalam memilih posisinya terkait isu kekerasan terhadap perempuan. Pertama, laki-laki sebagai pelaku kekerasan berbasis gender. Kedua, laki-laki bukan sebagai pelaku, tapi diam dan bersikap pasif (silent majority) terhadap kekerasan yang dialami perempuan, pada akhirnya cenderung membiarkan dan membolehkan kekerasan terhadap perempuan. Ketiga, laki-laki sebagai yang menentang berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan mengajak berbagai pihak, khususnya laki-laki untuk berbuat hal yang sama (vocal minority).
Untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan, laki-laki dianjurkan mengambil posisi yang ketiga. Kesetaraan gender akan terwujud jika laki-laki ikut bertanggungjawab atas bentuk-bentuk kekerasan yang dialami perempuan, baik dalam rumah tangga atau kehidupan masyarakat. Selain perjuangan yang dilakukan perempuan untuk mengupayakan kesetaraan gender, laki-laki juga harus ikut andil dan konsisten untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan serta mewujudkan terciptanya kesetaraan manusia di ruang publik tanpa memperhatikan gender seseorang.
Di sinalah pentingnya pendidikan kesetaraan gender bagi laki-laki. Laki-laki sedini mungkin harus dibekali pemahaman dan kesadaran yang luas tentang hak, tanggungjawab, dan peran yang setara antara laki-laki dan perempuan. Membekali laki-laki tentang kesadaran kesetaraan gender ini akan membantu menciptakan masyarakat yang lebih setara, menjunjung persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, dan mengilangkan diskriminasi, kekerasan, dan pelecehan seksual yang sering dialami perempuan. Laki-laki juga harus dididik tentang perspektif, pengalaman, dan tantangan yang dihadapi perempuan. Kemudian dilibatkan sebagai sekutu dan partner perempuan yang bekerjasama untuk mengubah dunia menjadi tempat laki-laki dan perempuan untuk berkembang secara setara.
Laki-laki yang mempunyai tempat istimewa di berbagai forum sosial, politik, dan ekonomi bisa menggunakan pengaruhnya untuk menyuarakan pesan kesetaraan dan menjadi teladan bagi rekan-rekannya untuk mendorong perubahan yang benar-benar transformatif menuju kehidupan yang setara. Karena sebenarnya, sejarah manusia dalam Islam tidak mendiskriminasikan laki-laki dan perempuan. Seperti halnya Adam dan Hawa yang selalu dilibatkan secara aktif dalam drama kosmis, yaitu cerita tentang keadaan Adam dan Hawa di surga sampai keluar ke bumi. Perempuan dan laki-laki harus dilibatkan secara aktif dalam membentuk masyarakat yang harmonis dan adil.
Oleh: Putri Nadillah, Redaktur Redaksi EM-YU.