Menu

Mode Gelap

Kolom Jum'at · 12 Agu 2022 01:18 WIB ·

Peran Penting Sayyidah Hajar dalam Sejarah Idul Adha.


 Sumber gambar :  NU Onliine Mojokerto Perbesar

Sumber gambar : NU Onliine Mojokerto

KOLOM JUM’AT L
Jum’at, 15 Juli 2022

Beberapa hari yang lalu kita baru saja merayakan hari raya Idul Adha. Hari raya ini biasa disebut dengan hari raya haji atau hari raya kurban. Setiap kali memperingati hari raya yang jatuh pada tanggal tanggal 10 Dzulhijjah ini kita selalu mengingat akan dahsyatnya peristiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim dan anaknya, Ismail. Hingga Allah mengabadikannya di dalam Alqur’an. Betapa Nabi Ibrahim harus berbesar hati merelakan buah hatinya untuk dikorbankan semata-mata atas perintah Tuhannya.

Namun, dalam rangkaian peristiwa besar itu, kita tidak boleh melupakan sosok perempuan tangguh dan tabah dalam merespon risalah yang dibawa suaminya, Ibrahim. Dia adalah Sayyidah Hajar. Kisah Sayyidah Hajar merupakan inspirasi bagi semua perempuan, bukan hanya bagi perempuan muslim saja. Kisah itu bermula dari ketabahan dan keikhlasannya menjalankan perintah Tuhan karena keyakinannya akan janji-Nya. Ini menunjukkan bagaimana tindakan seorang perempuan telah diabadikan ke dalam salah satu rukun Islam ke lima.

Sayyidah Hajar adalah istri kedua dari Nabi Ibrahim. Ia adalah seorang budak sahaya berkulit hitam yang dihadiahkan oleh raja Mesir kepada Nabi Ibrahim untuk dijadikan istri. Dalam status sosial pada saat itu, Hajar hampir tak punya makna dan disia-siakan. Istri pertama Nabi Ibrahim adalah Sayyidah Sarah, yang nantinya akan melahirkan Nabi Ishaq. Namun sebelum Sayyidah Sarah mempunyai anak, Sayyidah Hajar terlebih dahulu mempunyai anak bernama Ismail.

Sayyidah Sarah yang cemburu melihat Sayyidah Hajar karena terlebih dahulu dikaruniai anak setelah sekian lama menunggu, merasa kecewa dan tidak ingin tinggal seatap dengannya. Semata-mata demi menjaga perasaan Sayyidah Sarah, Hajar rela untuk pergi menjauh dari rumah. Nabi Ibrahim kemudian memindahkan Sayyidah Hajar dan Ismail kecil ke sebuah lembah gurun nun jauh dan gersang. Daerah yang tidak berpenduduk dan juga tidak ada sumber air yang diketahui.

Di tengah padang tandus Sayyidah Hajar hanya berbekal sebuah tas berisi kurma dan sedikit air. Hajar dan bayinya, atas perintah Allah, ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim sendirian tanpa adanya seorang pun yang menemaninya dan membantunya. Itu adalah lambang ketaatan dan ketaqwaan. Ia yakin, bahwa Tuhannya tidak akan menelantarkannya.

Sayyidah Hajar adalah sosok ibu yang sangat bertanggung jawab. Seorang ibu yang memiliki cinta yang tulus. Ia merawat anak tercintanya seorang diri di lembah gersang berhadapan dengan rasa sepi, takut, tanpa adanya figur suami. Kendati demikian, Hajar tidak menuntut Ibrahim untuk tinggal bersamanya. Sebelum kepergian Nabi Ibrahim, Hajar hanya bertanya apakah kepergiannya ini merupakan perintah Allah? Nabi Ibrahim hanya mengiyakan pertanyaannya sambil berjalan menjauh. Tak lama setelah itu, ketika Nabi Ibrahim sudah sampai di bukit, dimana sudah tidak terlihat oleh istrinya, kemudian ia berdo’a dan menengadahkan tangan ke langit memohon untuk keselamatan keduanya.

Setelah ditinggal Nabi Ibrahim dalam waktu yang cukup lama, perbekalan yang tersedia mulai habis. Air susu pun sudah mengering. Melihat anaknya kelaparan dan kehausan, Hajar berlari kesana kemari menuju bukit Shofa dan Marwa berharap ada air yang dapat diminum. Sayyidah Hajar semakin panik karena tidak ada apapun yang ia dapatkan. Ia bangkit berlari lagi ke bukit Shofa dan Marwa sampai tujuh kali mengelilinginya. Tetapi ia tak pernah menyerah pada penderitaan, tak pernah menyerah pada keadaan. Ia terus bergerak dan terus berusaha. Hajar tidak mau hanya pasrah tanpa upaya. Sayyidah Hajar tidak mau hanya menunggu sambil menanti mu’jizat turun dari langit. Ini adalah bentuk ketaqwaan yang sebenarnya, berserah diri memohon kepada Allah, namun disertai dengan usaha mencarinya.

Sampai pada akhirnya, Ismail kecil yang menangis kehausan menghentakkan kakinya ketanah sehingga dari hentakan kaki tersebut memunculkan sumber mata air yang sekarang kita kenal dengan air zam-zam. Karena pengobanan hidupnya yang tak terhingga itu, Allah mengabadikannya dalam wajib haji yaitu sa’i, berlari lari kecil antara bukit shafa dan marwa.

Setelah lama berpisah, Nabi Ibrahim datang membawa cobaan yang tak terkira beratnya bagi Sayyidah Hajar. Membawa perintah merelakan putra semata wayangnya yang dibesarkan sendirian dengan penuh pengorbanan untuk dijadikan qurban, ritual mendekatkan diri kepada Allah. Namun, situasi tidak menggoyahkan keimanan Sayyidah Hajar untuk tetap teguh menuruti perintah Allah sebagai wujud totalitas dalam penghambaan.

Peran Sayyidah Hajar merupakan peran utama terjadinya ibadah qurban, Sebab, tanpa kesabaran dalam berjuang merawat dan mendidik putranya Ismail yang menjadikannya memiliki budi pekerti luhur serta ketaqwaan dan ketaatannya mematuhi semua yang diperintahkan oleh Allah, Nabi Ibrahim tak akan sempurna menjalankan perintah Tuhannya.

Oleh: Muhmmad Saib Abdillah, Santri Mansajul Ulum dan Mahasiswa Zawa IPMAFA.

 

 

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 239 kali

Baca Lainnya

Pentingnya Memiliki Sanad Keilmuan

11 Oktober 2024 - 16:05 WIB

Masa Depan Kapitalisme: Jurang Kemiskinan, Kesenjangan Sosial dan Krisis Ekologi

27 September 2024 - 19:33 WIB

Bayang-Bayang Feodalisme dalam Sistem Pendidikan Indonesia

6 September 2024 - 12:23 WIB

Maqashid Syari’ah: Landasan Pesantren dalam merumuskan Konsep Fikih Digital 

23 Agustus 2024 - 13:38 WIB

Santri Era Society 5.0 Melek Digital Mapan Spiritual

9 Agustus 2024 - 17:03 WIB

Strategi Cemerlang Sultan Al-Fatih dalam Penaklukan Konstantinopel

26 Juli 2024 - 12:25 WIB

Trending di Kolom Jum'at