Menu

Mode Gelap

Kolom Jum'at · 10 Des 2022 06:12 WIB ·

Regulasi Mayoritas dan Minoritas Dalam Fiqh Islam


 Sumber gambar: id.pinterest.com. Perbesar

Sumber gambar: id.pinterest.com.

KOLOM JUM’AT LXV
Jum’at, 9 Desember 2022

Fiqh di dalam Islam adalah hasil dari istimbath dan buah tafsir dari para ulama terhadap Al-Qur’an dan Hadist yang berkaitan dengan kemaslahatan dan kemanusian. Kebenaranya bersifat relatif karena perumusannya dilakukan oleh ulama yang tidak bisa terhindar dari subyektifitas. Karena tafsir dan istimbath pasti dipengaruhi oleh pengetahuan kognitif dan konteks lokalitas sang penafsir. Oleh karena itu setiap daerah bisa jadi memiliki corak fiqh yang berbeda-beda.

Di sebuah negara yang jumlah pemeluk Islam adalah mayoritas pasti memiliki corak fiqh yang berbeda dengan negara yang jumlah pemeluknya hanya sedikit. Oleh karena itu regulasi fiqh Islam harus dialokasikan sesuai realitas sekitar supaya bisa relevan dan menimbulkan dampak yang positif pada lingkungan tersebut.

Selama ini hukum fiqh masih belum memiliki perhatian yang baik terhadap hak-hak kaum minoritas. Sebaliknya, masih banyak ditemukan teks fiqh yang memarginalkan minoritas, seperti non-muslim. Rekonstruksi fiqh yang banyak didominasi mayoritas diperlukan agar sejalan dengan Al-Qur’an dan ajaran Nabi. Karena ajaran Alquran dan Hadis sejatinya merupakan perlindungan terhadap semua umat, baik seagama maupun beda agama. Hal ini dapat dilihat pada salah satu pasal dalam Piagam Madinah yang menegaskan komitmen Nabi untuk menjadi pelindung masyarakat. Berikut adalah kutipan naskahnya: “Kaum Yahudi yang bersama-sama dengan kami akan memperoleh pertolongan dan hak persamaan serta akan terhindar dari perbuatan aniaya dan perbuatan makar yang merugikan.” Pasal ini juga menjelaskan adanya persamaan antara umat Islam dan umat non-muslim.

Dapat disimpulkan bahwa, realitas pada zaman Nabi telah menunjukkan adanya pengakuan hak umat beragama dalam menjalankan kehidupannya. Selain itu juga ada perlindungan dan jalinan relasi yang baik oleh muslim terhadap non muslim. Sehingga Islam pada zaman Nabi mestinya menjadi prototipe Islam mayoritas pada zaman sekarang.

Semangat beragama seperti inilah yang mesti diterapkan mayoritas muslim di negaranya masing-masing, termasuk Indonesia. Tujuannya adalah supaya tidak ada ketimpangan sosial dan kekerasan simbolik antar umat beragama. Ajaran semacam itu penting untuk terus disuarakan agar mampu menghapuskan praktek diskriminasi, subordinasi, dan marginalisasi terhadap kaum minoritas atau  non-muslim dan penganut sekte ajaran Islam yang berbeda.

Dalam konteks Islam minoritas, pengaplikasian hukum fiqh juga harus mampu berdialektika dengan lingkungan tersebut. Karena kian lama sebagian umat Islam banyak yang bertransmigrasi ke daerah-daerah yang mayoritas non-muslim, seperti ke Barat,  karena ada berbagai alasan untuk melakukan hal tersebut.

Problematika minoritas muslim dalam melaksanakan ajaran Islam di daerah mayoritas non-muslim hampir menyentuh berbagai aspek dalam Islam, baik di bidang ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah. Salah satu contohnya ketika hendak melaksanakan shalat Jum’at. Bagi orang yang tinggal di daerah mayoritas muslim, untuk melaksanakan syarat rukun shalat Jum’at mungkin tidak menjadi problem. Berbeda bagi mereka yang tinggal di daerah minoritas muslim dimana radius masjid yang amat jauh dengan waktu istirahat siang yang pendek. Mereka akan mengalami kesulitan untuk melaksanakan shalat Jum’at. Pekerjaan yang cukup padat tentu tidak mungkin jika terlampau sering ditinggalkan dengan alasan shalat Jum’at.

Hukum keluarga dan muamalah juga menjadi problematika di sana. Salah satu contohnya adalah persoalan nikah beda agama, problem hukum waris, relasi dalam pertemanan dan juga pekerjaan. Berbagai problematika yang dihadapi muslim minoritas seperti itu butuh mendapatkan penanganan khusus dari sudut fiqh supaya muslim minoritas tidak gagap berkomunikasi dan bermasyarakat dengan mayoritas non-muslim.

Fiqh minoritas bisa dibangun dengan landasan pengalaman awal Islam di Makkah, yaitu pegembangan minoritas muslim berelasi dengan mayoritas non-muslim. Landasan itu digunakan untuk membangun fiqh makro (al-Fiqh al-Akbar) bukan dalam fiqh mikro (al-Fiqh al-Asghar). Jika fiqh mikro terfokus dalam mengatasi persoalan-persoalan fiqh, maka fiqh makro lebih fokus pada penegakan moral atau etika publik. Dengan pengembangan fiqh makro, peluang umat Islam untuk mencari titik temu dengan kaum non-muslim lebih mungkin dilakukan.

Fiqh minoritas selayaknya juga dikembangkan dengan corak tafsir inklusif pluralis, yaitu corak tafsir keagamaan yang lebih positif memandang umat beda agama. Bukan corak fiqh eksklusif yang tertutup dan selalu memandang negatif umat beda agama. Umat Islam juga tidak memposisikan diri sebagai muslim dzimmi dan muslim harbi. Sebaliknya, umat Islam bisa menjadi bagian dari proses dan dinamika perpolitikan di daerah mayoritas non-muslim. Walau seperti itu, umat Islam harus tahu batas terjauh yang tidak mungkin diterobos seperti berimajinasi mendirikan lembaga peradilan berbasis jinayat Islam dan juga mendirikan negara Islam atau khilafah Islamiyyah.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 295 kali

Baca Lainnya

Perempuan Guru Ulama Laki-laki Terkemuka

17 Januari 2025 - 09:35 WIB

Peradaban Babilonia: Refleksi dan Resolusi saat Tahun Baru

3 Januari 2025 - 19:35 WIB

Pentingnya Pendidikan Kesetaraan Gender bagi Laki-Laki

20 Desember 2024 - 18:02 WIB

Kritisisme, Juru Damai Rasionalisme dan Empirisme

6 Desember 2024 - 07:47 WIB

Urgensi Pesantren Ramah Anak

22 November 2024 - 13:35 WIB

Dampak Buruk Konsumsi Makanan Berlebih dalam Perspektif Dokter dan Ulama’

8 November 2024 - 14:45 WIB

Trending di Kolom Jum'at